Graha Polinema 4th Floor, Jl. Soekarno Hatta No.9, Malang City, East Java, Indonesia

image

Bicara mengenai dampak buruk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak lengkap jika belum membahas mengenai bahan bakar Batubara. Indonesia dikenal sebagai pengekspor Batubara nomor 1 di dunia. Namun faktanya, Indonesia hanya memiliki 3% cadangan Batubara dunia, dan negara hanya menyuplai 80% masyarakat untuk memiliki akses terhadap listrik, sementara 20% lainnya masih kesulitan mendapat akses karena hidup di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Industri Batubara sendiri memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, namun ternyata industri ini hanya berkontribusi sebesar 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa Industri Batubara bukan penyokong sektor ekonomi di Indonesia.

Penambangan Batubara menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan bagi tanah, air, udara dan menimbulkan ancaman bagi kesehatan dan keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan. Polusi PM2.5 adalah partikel halus yang dapat menyebabkan risiko kesehatan dalam jangka panjang, kemudian Batubara yang dibakar menjadi PLTU juga mengeluarkan zat kimia berbahaya seperti NOx dan SO2. Diketahui, setiap tahunnya, pembakaran Batubara menyebabkan kematian dini sebanyak 6.500 jiwa di Indonesia. Berhasil memiliki kapasitas Batubara terbesar ke-5 di dunia yang mencapai 45,35 gigawatt, Indonesia digadang-gadang juga terus mengalami perkembangan dan penambahan PLTU Batubara yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. 

Menurut International Energy Agency (IEA), bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari total emisi karbon dioksida (CO2) secara global. Selain itu, pembakaran Batubara juga menjadi penyebab Gas Rumah Kaca (GRK) yang memicu terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan hasil riset, PLTU Batubara mengeluarkan polutan beracun mencapai jutaan ton setiap tahunnya. Beberapa polutan tersebut diantaranya merkuri, timbal, arsenik, kadmiun dan partikel halus namun beracun yang dapat terhirup dan mengendap di paru-paru manusia. Meski sering diabaikan, tetapi polusi udara dinobatkan sebagai “pembunuh senyap” dan telah menyebabkan kematian dini atau premature death di seluruh dunia. Penyakit yang dapat terpicu oleh kondisi udara yang buruk akibat polutan adalah kanker paru-paru,stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan lainnya seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). 

Di negara-negara lain, pemanfaatan Batubara sebagai bahan bakar mulai ditinggalkan, akibat kesadaran pemerintah dan masyarakat yang tinggi terhadap bahaya dan risikonya secara jangka panjang. Sebagai contoh, di Amerika terdapat 200 PLTU yang rencananya akan ditutup, dan sebagai gantinya, Amerika Serikat, menambah 46 gigawatt energi terbarukan yang berasal dari angin, matahari, dan teknologi panas bumi. Tidak hanya Amerika Serikat, Tiongkok juga menyusul dan perlahan mulai meninggalkan pembakaran Batubara, hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan angka penjualan Batubara sebesar 4.7% dan penurunan angka impor Batubara sebesar 40% pada waktu yang bersamaan. 

Diketahui, proses transportasi dan distribusi Batubara juga menyebabkan kematian pada tumbuhan mangrove dan menimbulkan abrasi pantai. Berbeda dengan yang terjadi di perairan, pembakaran Batubara menjadi PLTU juga memicu terjadinya erosi yang berujung pada bencana alam banjir. 

Dalam upaya menanggulangi dampak buruk PLTU Batubara untuk lingkungan, solusi transisi penggunaan energi terbarukan terus dikembangkan baik dari sudut pandang regulasi seperti kebijakan pemerintah dan dukungan terhadap pengembangan teknologi. Hal ini tentu akan membantu tujuan negara-negara secara global dalam menekan angka emisi karbon hingga menjadi net zero. Berikut beberapa kebijakan negara-negara secara global yang dapat dijadikan pertimbangan:
  1. 1. Amerika Serikat: Menyetujui Inflation Reduction Act, memberi dukungan finansial untuk jaringan listrik dan pembuatan peralatan listrik yang berkelanjutan, mengadakan kredit pajak investasi untuk penyimpanan baterai dan nuklir tanpa emisi, dan mengadakan perpanjangan kredit pajak untuk PV surya dan angin (kredit produksi dan kredit investasi).
  2. 2. China: Menyusun Rencana Lima Tahun ke-14 dengan cara menaikkan target energi terbarukan menjadi sebesar 33% dari konsumsi listrik di tahun 2025 (dan 18% untuk energi terbarukan non-hidro).
  3. 3. Eropa: Komisi Eropa mengumumkan REPowerEU Plan, proposal Net-Zero Industry Act dan potensi reformasi lainnya, meningkatkan seluruh matriks energi di EU pada 2030 menjadi 45%, dan mengusung usulan reformasi desain pasar dan target khusus teknologi untuk kapasitas produksi EU. 
  4. 4. Jepang: Pemerintah Jepang sedang dalam proses mempelajari perpanjangan umur pembangkit listrik tenaga nuklir (di atas 60 tahun).
  5. 5. India: Melanjutkan ekspansi skema Production-Linked Incentive (PLI).
  6. 6. Korea: Membuat rencana untuk meningkatkan tenaga nuklir menjadi 35% dari total pembangkitan dan energi terbarukan menjadi 31% dari 10% pada tahun 2021.

Bagaimanapun rutinnya diskusi dan konferensi internasional yang dihadiri oleh negara-negara yang meratifikasi Paris Agreement, peran berbagai pihak termasuk masyarakat lah yang dapat menentukan masa depan bumi. Temuan fakta, kemajuan sains dan teknologi semata-mata hanya membantu pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan, tetapi gaya hidup dan pilihan itu tetap berada ditangan masing-masing individu yang hidup di setiap negara dengan budaya dan kebiasaan yang berbeda.

Pelajari lebih lanjut mengenai permasalahan dan tantangan lingkungan, serta perlambat dampak buruk krisis iklim bersama BumiBaik dengan bergabung dalam kegiatan penanaman pohon termonitor, berkelanjutan, dan transparan! Hubungi kami di [email protected] atau WhatsApp ke 082130075758 untuk tahu lebih lanjut seputar kerja sama dengan BumiBaik.