Graha Polinema 4th Floor, Jl. Soekarno Hatta No.9, Malang City, East Java, Indonesia

image

Hujan yang turun tidak selalu membawa kesegaran bagi bumi. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena hujan asam menjadi perhatian dunia karena dampaknya yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), hujan asam terjadi ketika sulfur dioksida (SO₂) dan nitrogen oksida (NOₓ) dilepaskan ke atmosfer, bereaksi dengan air, oksigen, dan bahan kimia lainnya, lalu membentuk asam sulfat dan asam nitrat. Senyawa ini kemudian jatuh ke bumi bersama hujan, salju, kabut, atau bahkan partikel kering — proses yang dikenal sebagai deposisi asam.

Polutan penyebab hujan asam sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor industri, pembangkit listrik tenaga batu bara, dan kendaraan bermotor. Asap pabrik dan emisi kendaraan menjadi kontributor utama pencemaran udara yang memicu proses kimia pembentuk hujan asam.

Dampaknya terhadap lingkungan sangat serius. Tanah yang terkena hujan asam kehilangan kandungan mineral penting seperti kalsium dan magnesium, sehingga memengaruhi pertumbuhan tanaman. Selain itu, air danau serta sungai menjadi terlalu asam bagi sebagian besar kehidupan akuatik.

Tak hanya lingkungan, hujan asam juga berdampak pada manusia. Dilansir dari Hello Sehat, paparan partikel hasil hujan asam dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti asma, bronkitis, hingga iritasi pada mata dan kulit. Kelompok paling rentan terhadap dampak ini adalah anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan kronis.

Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengurangi emisi polutan udara. Langkah konkret seperti penggunaan energi terbarukan, peningkatan efisiensi kendaraan, serta pengawasan industri menjadi kunci dalam menekan potensi hujan asam di masa depan.

Hujan asam adalah peringatan nyata bahwa aktivitas manusia memiliki konsekuensi terhadap alam. Kini saatnya beraksi untuk udara yang lebih bersih dan masa depan yang lebih sehat.