Graha Polinema 4th Floor, Jl. Soekarno Hatta No.9, Malang City, East Java, Indonesia

image

Mangrove dikenal dengan kemampuannya melindungi wilayah pesisir dari tsunami dan efektif mencegah abrasi. Sebagai ekosistem pesisir, mangrove juga menjadi habitat penting bagi kepiting dan ikan, berfungsi sebagai area pemijahan dan pembesaran, serta berkontribusi dalam menjaga keseimbangan keanekaragaman hayati. Baru-baru ini, para ilmuwan menemukan bahwa mangrove dapat menyerap karbon dioksida lebih baik daripada hutan hujan dan lahan gambut.

Emisi karbon menjadi masalah serius saat ini karena kontribusinya berdampak pada perubahan iklim dan peningkatan suhu. Oleh karena itu, perluasan hutan hujan dan lahan gambut diharapkan dapat mengatasi masalah emisi karbon. Fakta bahwa Indonesia memiliki area hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Amazon dan Cekungan Kongo Afrika membuat masyarakat bergantung pada sumber daya alam kita untuk mendukung upaya pengurangan karbon. Namun, sebagai negara kepulauan, hutan mangrove juga mudah ditemukan di Indonesia, menjadikan Indonesia memiliki kondisi yang menguntungkan dan aset berharga bagi dunia.

Ini menyiratkan bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove terluas dan terbanyak di dunia. Berdasarkan penelitian CIFOR, hutan mangrove Indonesia dikatakan menyimpan karbon lima kali lebih banyak per hektar dibandingkan hutan tropis dataran tinggi. Tercatat bahwa Indonesia memiliki sekitar tiga juta hektar hutan mangrove atau mewakili lebih dari 20 persen mangrove dunia, sedangkan Australia dan Brasil di posisi kedua dan ketiga hanya memiliki sekitar 900 ribu hektar mangrove, perbedaan yang sangat signifikan. Lima puluh persen hutan mangrove berada di Papua.

Tantangan yang harus dihadapi para peneliti adalah masyarakat setempat yang belum menyadari potensi penyerapan karbon yang ada di depan mereka, di dalam hutan mangrove. Masyarakat memandang mangrove sebagai Nipah, memanfaatkan sifat fisiknya untuk diolah menjadi arang. Sementara itu, perikanan berkelanjutan juga bergantung pada keberadaan hutan mangrove. Artinya, mengedukasi masyarakat setempat tentang pentingnya hutan mangrove menjadi tindakan prioritas utama para peneliti. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) merilis fakta yang mencengangkan bahwa Indonesia telah kehilangan 40% hutan mangrove selama tiga dekade terakhir. Menarik perhatian dunia, Indonesia memiliki tingkat kerusakan mangrove terbesar di dunia, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia gagal melindungi aset penting dan senjata ampuh perubahan iklim.

Berbicara tentang betapa kuatnya hutan mangrove, para pemimpin dunia telah merancang konsep Blue Carbon, di mana ekosistem pesisir dianggap sebagai mitigasi perubahan iklim. Blue Carbon menawarkan solusi stok karbon dibandingkan dengan ekosistem daratan. Menggali potensi Blue Carbon dapat berkontribusi pada kemajuan pengetahuan dalam studi perubahan iklim, termasuk ancaman keanekaragaman hayati yang semakin meningkat yang kini menjadi perhatian serius para peneliti.

Apakah menurut Anda kita bisa merehabilitasi hutan mangrove dan mempertahankan jumlahnya sesuai harapan? Apa pendapat Anda tentang potensi mangrove dan hubungannya dengan Blue Carbon?

Unduh aplikasi BumiBaik agar tak ketinggalan artikel lainnya dan untuk membantu menghitung emisi karbon Anda melalui kalkulator karbon pada aplikasi kami, hanya tersedia di Playstore!

Referensi: Pojok Iklim oleh MenLHK Indonesia.