Graha Polinema 4th Floor, Jl. Soekarno Hatta No.9, Malang City, East Java, Indonesia

image

Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah salah satu proyek pembangunan di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang bertujuan untuk memindahkan Ibu Kota Negara yang semula berada di Jakarta, Provinsi DKI Jakarta ke Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, dengan konsep pembangunan forest city. Rencana ini telah disepakati pada Rapat Paripurna DPR RI awal tahun 2022 silam. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi rencana pemindahan ibu kota negara ini, diantaranya adalah:
1. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa di tahun 2020, populasi penduduk di pulau Jawa telah mencapai 151,59 juta atau sekitar 56,10% dari total populasi penduduk Indonesia. Data ini mengindikasikan bahwa beban kependudukan Indonesia selama ini hanya terpusat di Pulau Jawa.
  1. 2. Pulau Jawa menyumbang 57,89 % Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2021atau setara dengan Rp16.970,8 triliun dengan PDB per kapita mencapai Rp62,2 juta atau USD4.349,5. Dimana, sebagian besar kontribusi PDB terkonsentrasi di wilayah Jakarta sebagai ibu kota negara, dengan wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Sementara jika dilihat dari PDB per kapita DKI Jakarta, nilainya  mencapai Rp274,7 juta, padahal rata-rata nasional hanya mencapai Rp62,2 juta. Artinya PDB per kapita DKI Jakarta lebih dari empat kalinya PDB rata-rata nasional.
  2. 3. Adanya krisis air yang melanda Pulau Jawa berdasarkan data Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak tahun 2016.
  3. 4. Berdasarkan pemodelan dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan Bappenas, terlihat bahwa pulau Jawa telah mengalami banyak konversi fungsi lahan. Pemodelan ini menyatakan bahwa terdapat proporsi yang tidak imbang jika Pulau Jawa dibiarkan lima kali lipat dari Pulau Kalimantan terkait penggunaan lahan untuk kebutuhan konsumsi. 
  4. 5. Rawan bencana alam di Jakarta akibat kepadatan penduduk yang terus berlangsung serta kerusakan lingkungan yang marak terjadi hingga berpotensi menyebabkan banjir, longsor, abrasi air laut, dan polusi.

Pada prosesnya, IKN memang dibangun diatas lahan 256.000 ha yang berstatus hutan, dengan visi menjadikan IKN sebagai kota masa depan yang 70% wilayahnya hijau. Seorang dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwiko Budi Permadi PhD, mengatakan bahwa justru pembangunan IKN malah berkontribusi untuk deforestrasi hutan sebesar 30% guna membangun infrastruktur. Seperti diketahui, ada 2 istilah dalam konteks perubahan hutan, yaitu deforestrasi dan degradasi. Deforestrasi sendiri bermakna perubahan hutan menjadi lahan non-hutan, sedangkan degradasi memiliki arti perubahan lahan hutan menjadi hutan tanaman, kebun, atau lahan pertanian. Menurut informasi dari Bappenas, dari 256.000 ha lahan yang akan dibangun menjadi IKN, hanya 43% area yang masih layak disebut hutan, artinya kondisi asli lahan tersebut pun tidak dalam kondisi yang baik dan pemerintah memiliki beban 30% untuk mewujudkan visi forest city yang 70% hijau.

Hingga saat ini, tantangan pembangunan IKN masih berkutat di lingkup bagaimana pengalihfungsian hutan tropis menjadi sebuah kota dapat tetap menyuplai oksigen, mempertahankan hutan dan menyuplai keanekaragaman hayati. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya mampu melakukan reboisasi sebanyak 900 ha per tahun dengan tingkat keberhasilan yang masih rendah. Perhitungan kasarnya adalah dibutuhkan waktu 88 tahun untuk mampu mentransformasi area IKN menjadi hutan kembali.

Mengingat Kalimantan adalah pulau yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, menaungi keanekaragaman hayati dan keberadaannya yang lekat dengan masyarakat adat, maka pembangunan IKN menuai banyak kontra dari pakar lingkungan. Selain itu, alasan-alasan dari pemerintah dianggap masih lemah, misalnya mengenai tujuan pemerataan dan daya dukung Jakarta dirasa terburu-buru dan dinilai perencanaannya kurang matang. Dengan luasnya negara Indonesia sebagai negara kepulauan, pemindahan ibu kota tidak cukup menjadi solusi tunggal, karena justru pemerintah membutuhkan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang harus dibangun dari bawah di wilayah bagian timur Indonesia. Dari perspektif ekonomi pun, pemindahan ibu kota negara ini dianggap akan cukup membebani APBN yang sedang mengalami krisis.

Meskipun begitu, pemangku kepentingan yang pro terhadap pembangunan IKN ini mengklaim bahwa pertimbangan dan kebijakan ini sudah sesuai dengan riset dan bisa diimplementasikan dengan baik. Contohnya, pembangunan IKN akan memperhatikan rencana Nationally Determined Contribution (NDC) dan FOLU Net Sink 2030. Ditambah lagi, berdasarkan KLHS IKN 2020, secara umum Kalimantan memiliki sumber daya yang banyak, sehingga pemeitntah perlu memperhatikan dampak bahaya terhadap ekologi (ecological hazard) agar tidak menjadi bumerang bagi kerusakan alam dikemudian hari. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga perlu dilakukan secara tepat dalam masterplan pembangunan IKN guna meminimalisir risiko kerusakan akibat pembangunan ini.

Dari banyaknya kekhawatiran berbagai pihak yang kontra terhadap pembangunan IKN, rencana proyek pembangunan tersebut sampai hari ini masih dilanjutkan. Dengan banyaknya informasi, analisis, dan juga penelitian terhadap risiko dan dampak pembangunan, masyarakat diharapkan lebih teliti dalam memilah dan mengonsumsi informasi tersebut. Harapannya, semakin terbukanya kepekaan dan kesadaran masyarakat, penilaian kritis terhadap segala kebijakan pemerintah yang berpotensi merusak alam dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat bisa dicegah.

Salah satu cara memperhatikan sekitar adalah dengan terus belajar dan mengedukasi diri dengan informasi terkini seputar alam dan bumi. Ikuti berita dan informasi lainnya hanya bersama BumiBaik!