Masyarakat adat dan komunitas lokal yang juga disebut Indigenous people dan local communities, adalah sekumpulan orang yang percaya bahwa mereka merupakan bagian dari alam, bukan pemiliknya, sehingga mereka menjalankan tradisi turun menurun untuk mengekstradisi sumber daya alam secara ramah lingkungan dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan peran dan fungsi ekologis yang ada. Pemahaman yang mendalam terkait pola migrasi hewan, siklus alam, musim tanam, dan pertumbuhan alami telah diterapkan melalui pengamatan terhadap respons pola alam untuk memastikan keseimbangan ekologi tetap terjaga.
Pengetahuan terhadap alam biasanya disalurkan antar generasi masyarakat adat melalui praktik adat, tradisi lisan, dan ritual. Hal ini menjadi warisan paling berharga yang bisa dilestarikan oleh masyarakat adat sebagai bentuk kontribusinya menjaga alam, dan sumber inspirasi dan pembelajaran di masa mendatang. Contohnya adalah anak muda dari masyarakat adat di Kecamatan Mollo, Nusa Tenggara Timur mendirikan sebuah Laboraturium Ume Fatumtaum sebagai wadah bagi regenerasi yang berkaitan dengan pengetahuan budaya.
Fenomena krisis iklim juga mengubah haluan masyarakat adat dalam memahami pola pendekatan hubungan manusia dan alam. Ditandai dengan pengembangan pengetahuan lokal seputar prakiraan cuaca yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola pertanian dan kehidupan sehari-hari. Tempat tinggal masyarakat adat yang sangat berkaitan dengan wilayah konservasi menjadikan masyarakat adat menjadi kelompok sosial yang rentan terhadap kondisi krisis iklim yang sedang berlangsung saat ini. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) di Indonesia mencatat setidaknya terdapat 839 peta wilayah adat pada tahun 2019 dengan luas 10.539.317 ha dan ada potensi hutan adat sekitar 7.819.409 ha dari data tersebut.
Keberhasilan masyarakat adat dalam menjaga ekosistem alam lintas generasi menjadikan mereka memiliki peran untuk mengendalikan, melakukan konservasi, dan pelestarian komponen lingkungan. Hal ini bertolak belakang dengan konsep konservasi dan perlindungan kawasan hutan yang selama ini dibuat regulasinya oleh beberapa pemerintah pusat maupun daerah yang justru mengusir keberadaan masyarakat adat. Padahal, masyarakat adat di Indonesia merupakan bagian dari solusi aksi adaptasi dan mitigasi krisis iklim karena mereka memiliki kearifan lokal berupa hukum adat dan kelembagaan yang mengatur proses eksploitasi dan manajemen sumber daya alam.
Bukti nyatanya adalah pola panen yang diterapkan oleh Suku Baduy. Mereka melakukan panen padi setahun sekali demi menjaga kesuburan tanah, dan menghindarkan alam dari eksploitasi berlebih. Selain itu Suku Pipitak dari Desa Pipitak, Kalimantan Selatan, memiliki ritual adat sebelum membuka lahan atau menebang pohon sebagai bentuk penghormatan terhadap alam, yang didasari oleh rasa percaya bahwa jika alam rusak, maka tidak akan ada lagi kehidupan, dan mereka tidak lagi bisa bergantung pada alam. Selain itu, Suku Sakai di Riau juga memberlakukan ilmu tiga hutan yang membagi teritorial hutan menjadi hutan adat, hutan larangan, dan hutan perladangan.
Bukti lainnya bahwa keberadaan masyarakat adat mampu menjaga lingkungan adalah berdasarkan laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fund for the Development for the Latin America and the Latin Carribean (FILAC), menyatakan bahwa Hutan Kemasyarakatan di Meksiko dapat memproduksi kayu secara berkelanjutan selama 40 tahun setelah pada tahun 1980-an, pemerintah melibatkan Komunitas Maya Petcacab di Quintana Roo yang memiliki luas wilayah 51.176 ha, dimana 80% nya merupakan hutan tersebut untuk dikelola sedemikian rupa hingga menghasilkan panen secara baik dan di tahun 2016 dengan angka penjualan mencapai senilai USD 1.7 juta.
Tidak hanya itu, Ekuador juga pernah memberlakukan pembayaran jasa lingkungan melalui Program Socio Bosque pada tahun 2008, dengan objektif untuk melestarikan hutan, mengurangi emisi, dan meningkatkan kondisi kehidupan. Program Socio Bosque memberikan dana kepada masyarakat adat untuk mengerjakan proyek-proyek lokal, dan sebagai gantinya, masyarakat sepakat untuk tidak bertani, berburu hewan, dan menebang pohon selama kurang lebih 20 tahun. Dampak yang dihasilkan adalah sebanyak 196 komunitas lokal menerima dana tersebut dan hutan seluas 1.450.000 ha telah lestari dan selamat dari kerusakan akibat ulah manusia.
Dari masyarakat adat kita belajar, bahwa memiliki keingin tahuan, dan memahami kodrat alami tentang peran manusia dan lingkungan terhadap satu sama lain penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap keberlanjutan makhluk hidup dan keseimbangan ekosistem demi kehidupan generasi mendatang. Melalui masyarakat adat, lingkungan bisa lestari dan terjaga dari kerusakan. Sebagai generasi muda yang hidup ditengah polemik krisis iklim, kita harus banyak menambah pengetahuan tentang kebijakan dan regulasi yang berpotensi merugikan masyarakat adat, karena ancaman terhadap masyarakat adat, berarti ancaman nyara terhadap kerusakan lingkungan.
Ingin menambah ilmu terkait lingkungan dan krisis iklim? Jangan lupa ikuti BumiBaik di Instagram dan LinkedIn, dan hubungi kami di
[email protected] atau WhatsApp ke 082130075758 untuk kolaborasi hijau dan biru yang berkelanjutan. Kurangi emisi karbon, dan lindungi lapisan ozon!